Anak berkonflik dengan hukum telah menjadi permasalahan di
Indonesia, khususnya di kota besar, kesenjangan ekonomi maupun melemahnya
ikatan sosial di kota besar dianggap menjadi salah satu penyebab timbulnya
anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Dan tidak sedikit anak yang
terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak menyenangkan atau bahkan
menjadi korban dari suatu perlakuan yang menyakitkan, baik oleh pelaku tindak
kejahatan yang professional, seperti preman, pemerkosa, perampok, dan
sebagainya maupun oleh sanak saudara atau bahkan orang tua kandung mereka
sendiri. Tetapi, kasus dan permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak di
bawah umur umumnya masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai
pihak. Perhatian terhadap masalah ini masih kalah bila dibandingkan dengan
maraknya kasus anak yang kurang gizi dan anak dan anak-anak busung lapar akibat
situasi krisis ekonomi yang tak kunjung usai, tingginya angka kesakitan anak
karena penyakit infeksi, atau kasus tingginya kematian anak yang secara factual
lebih mudah dialami dan dideteksi masyarakat. (Sri Sanituti Hariadi, 2000 : 12)
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Deklarasi Hak
Anak-anak hanya dijadikan ancaman yang menakutkan bagi anak dan cenderung
masuk penjara, belum menyentuh secara
keseluruhan proses pemulihan untuk terapi anak. Terhadap
anak berhadapan dengan hukum ini Pasal 59 juncto Pasal 64 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah menegaskan dimana
Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya wajib dan bertanggungjawab memberikan
perlindungan khusus melalui upaya :
1.
Perlakuan atas anak secara
manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2.
Penyediaan petugas pendamping
khusus anak sejak dini;
3.
Penyediaan sarana dan prasarana
khusus;
4.
Penjatuhan sanksi yang tepat
untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5.
Pemantauan dan pencatatan terus
menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
6.
Pemberian jaminan untuk
mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
7.
Perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghina dari labelisasi.
Sebelumnya pula ditegaskan dalam Pasal 16, 17 dan
18 khusus Anak sebagai pelaku dalam anak berhadapan dengan hukum disebutkan:
Pasal 16;
(1) Setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap
anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17;
(1) Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. Mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
c. Membela
diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan
dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18;
Setiap anak yang menjadi korban
atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Materi muatan
ketentuan-ketentuan di atas, pada akhirnya membutuhkan langkah-langkah kongkrit
Pemerintah utamanya para penegak hukum mengingat persoalan perlindungan anak
dengan cluster perlindungan khusus atau Children
in need of Special Protection (CNSP) membutuhkan langkah-langkah di luar
kebiasaan atau kebijakan pemerintah di luar system peradilan pidana (Criminal Justice System). Kebijakan ini
disebut dengan kebijakan Restorative
Justice atau Keadilan Restoratif.
Restorative
Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan Restoratif merupakan suatu
model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian
perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang
dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan
adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses
penyelesaian perkara pidana. Restorative Justice dianggap cara
berpikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan
oleh seseorang. Terhadap Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan
tindakan kriminal tentunya sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri
anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal
sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan
pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana
dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.
Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan
pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak
pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana
tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan. Restorative Justice merupakan upaya
untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 merupakan salah satu wujud bentuk dari Restorative Justice (keadilan
restoratif) sebagai, perwujudan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan
hukum dengan mengedapankan diversi untuk tidak melakukan penahanan. Model
ini perlu dikembangkan dalam penyelesaian kasus pidana, hal ini sangat
bermanfaat membantu mengurangi jumlah narapidana dan tahanan. Juga lebih untuk
mendorong terciptanya reintegrasi sosial pelaku tindak pidana ke masyarakat
secara cepat serta menghindari stigmatisasi.
Penanganan perkara pidana dengan
pendekatan Restorative Justice
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu
tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh
Dignan sebagai berikut:
“Restorative justice is a new
framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining
acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling
professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based
approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the
person harmed, the person causing the harm, and the affected community.”
Definisi tersebut mensyaratkan
adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan Restorative Justice sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon
suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus
perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula
dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat.
Dalam hal ini Restorative
Justice sebagai sebuah konsep keadilan bagi anak masih belum tercermin
dalam konsep hukum dalam sistem hukum pidana Indonesia, dimana Undang-Undang
sendiri masih didominasi oleh pendekatan yang bersifat retributif.
Pembenahan persoalan anak-anak memang tidak dapat
dilakukan sendiri, berbagai upaya harus dilakukan secara proporsional sesuai
persoalan dan melihat akar persoalan yang ada. Selain hal di atas, ada beberapa
hal yang bisa dilakukan penanganan anak-anak secara proporsional (Hesma Eryani, 2006 : 8) :
1.
Kita harus menyadari bahwa anak-anak bukanlah barang
dagangan jika band terkenal Serius melantunkan statement “Rocker juga manusia,”
maka pada anak-anak kita juga harus menegaskan bahwa “Anak-anak juga manusia,”
untuk memenuhi itu, pemerintah dan para orang dewasa harus memiliki komitmen
nyata dan efektif terhadap prinsip-prinsip anak. Implementasi dari komitmen ini
sangat mungkin dalam memberikan rasa aman, terlindung, dan lingkungan yang
sehat bagi anak. Semua orang harus memiliki kesadaran dan memberi pengakuan
akan hak setiap anak untuk berpartisipasi penuh dan menjadi bermakna. Biarkan
mereka berbicara (meskipun bagi orang dewasa pembicaraan itu tak berkenan),
libatkan mereka secara aktif dalam setiap pengambilan keputuasan, kala membuat
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, bahkan evaluasi. Anak-anak akan merasa
diuwongken karena mereka dilihat dari harkat dan martabatnya sebagai manusia;
2.
Terkait eksploitasi dan kekerasan terhadap anak harus ada
hukum yang tegas untuk melindungi mereka. Tak hanya itu, korban kekerasan ini
harus direhabilitasi sedemikian rupa dengan program-program yang dapat
membangun kembali kehidupan mereka sehingga terlepas dari trauma
berkepanjangan;
3.
Agar anak-anak tidak menjadi korban peperangan, baik
perang berskala dunia maupun lokal/perang antar suku atau hal-hal lain seperti
di Poso para pemimpin harus berupaya keras mencegah terjadinya konflik melalui
dialog damai, bukan kekuatan. Jika peran telanjur terjadi, anak-anak ini harus
dilindungi, misalnya di pengungsian dan diberi kesempatan sama dengan anak-anak
yang lain.
Persoalan kemiskinan juga membawa anak dalam lingkaran
setan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34
ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Hal ini menunjukan bahwa
Negara secara serius memperhatikan terhadap perlindungan Hak-hak anak.
Perlunya didorong adanya sebuah model penanganan anak
konflik dalam hukum, karena menurunya kesadaran kolektif masyarakat. Mereka
cenderung tidak peduli lagi terhadap individu lain disekitarnya. Saat ini
masyarakat lebih banyak mempercayakan penyelesaian kenakalan anak kepada sistem
hukum konvensional yang mengatur tata nilai di masyarakat. Padahal, hal ini
belum menjadi solusi terbaik dalam mengatasi Masalah-masalah sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar