Kamis, 13 Juli 2017

Pendidikan Ekstrakurikuler

Pendidikan Ekstrakurikuler
a. Pengertian pendidikan ekstrakurikuler
Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah.
Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan pengayaan dan perbaikan  berkaitan dengan program kurikuler, kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan pembentukan kepribadian siswa, seperti :
“kepramukaan, usaha kesehatan sekolah, olahraga, palang merah, kesenian, dan kegiatan lainnya diselenggarakan juga dengan menggunakan waktu di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program. Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan juga untuk lebih mengaitkan antara pengetahuan yang diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.[1]

Dalam Keputusan Dirjen Dikdasmen, dikemukakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah :
Kegiatan di luar jam pelajaran biasa dan pada waktu libur sekolah, yang dilakukan di sekolah atau di luar sekolah, dengan tujuan untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan siswa, mengenal hubungan antara berbagai mata pelajaran, penyaluran bakat dan minat, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya.[2]

Untuk membahas lebih lanjut tentang sub tersebut, penulis terlebih dahulu  menguraikan arti pendidikan, yaitu :
Usaha yang dijalankan oleh seorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[3]   

Rousseau, mengemukakan bahwa pendidikan adalah “memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa”[4]
Istilah pendidikan merupakan padanan kata dari istilah pedagogi. Kata pedagogi (paedagogis) berasal dari dua patah kata bahasa latin, yakni : “paes artinya anak dan again artinya membimbing”[5]. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan untuk membimbing anak atau bimbingan yang diberikan kepada anak didik. kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggeris menjadi education dengan arti pengembangan atau bimbingan, selanjutnya dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tarbiyah yang berarti pendidikan.[6]
Dalam pandangan para pakar pendidikan, telah berbeda pandangan sesuai sudut analisanya masing-masing dalam memberikan batasan istilah pendidikan, seperti pengertian pendidikan yang dikemukakan berikut ini :
Omar Mohammad al Toumi al Syaibany, mengatakan bahwa  pendidikan adalah :
“. . . usaha yang dicurahkan untuk menolong insan menyingkap dan menemui rahasia alam, memupuk bakat dan persediaan semula jadinya, mengarahkan kecenderungannya, . . .”[7]

Konsep di atas asumsi dasarnya adalah hakikat pendidikan ditentukan oleh hakikat manusianya atau antropologi metafisikanya, dalam hal ini manusia dipandang sebagai homosapiens yaitu sejenis makhluk yang dapat berpikir dan mampu berilmu pengetahuan. Jadi pada hakikatnya setiap manusia memperoleh hak untuk berpikir guna mencari kebenaran mutlak atau kebenaran yang hakiki sebagaimana kemampuan berpikir dan menganalisa sesuatu.
Ki Hajar Dewantara, mengemukakan bahwa pendidikan adalah  “Menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik kita supaya menjadi manusia beradab dan susila”[8]
Konsep tersebut meninjau proses pendidikan dari sudut internal dalam diri manusia/anak, sehingga lebih mengarah kepeninjauan tentang hakikat psikologis.
Oleh pakar sosiologis memberi definisi mengenai pendidikan dengan argumentasinya bahwa “education in the proces by which the individual is thought loyalty in conpromity to the group and to social institutions[9]
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang mana individual dibina agar menjadi loyal serta setia dan menyesuaikan diri pada kelompok atau lembaga sosial.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk mengarahkan manusia sehingga mencapai cita-cita yang diinginkan, yaitu terwujudnya kepribadian yang utuh, baik jasmani maupun rohani. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan adalah “suatu usaha memanusiawikan seseorang, yaitu suatu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya”[10]
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang tanpa akhir (Education is the process without end). Dan pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (daya intelektual) maupun daya emosional (perasaan) yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Karena John Dewey berfaham behaviorisme, dimana pengaruh pendidikan “dipandang dapat membentuk manusia menjadi apa saja yang diinginkan oleh pendidik”.[11] Maka istilah pembentukan ciri khas yang menunjukkan kekuasaan pendidik terhadap anak didik.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”[12]
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembimbingan, pembelajaran, dan atau pelatihan terhadap anak didik/peserta didik sehingga mereka dapat melaksanakan peranan serta tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya.
Definisi-definisi yang dikemukakan di atas, pada hakikatnya menunjukkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha sadar yang diarahkan kepada pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani peserta didik atau anak didik. Atau usaha yang disengaja untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik menuju kesempurnaannya atau sehingga terbentuk kedewasaannya. Jadi  dapat  dipahami  bahwa  peserta didik yang dimaksud dalam tulisan ini ialah murid atau siswa, yaitu anak atau orang yang belum dewasa pisik maupun psikisnya.
Dalam wacana formal perundang-undangan, pendidikan dapat berarti lembaga dan sekaligus proses. Dalam wacana umum, pendidikan dapat diartikan sebagai lembaga dan sekaligus proses. Dalam konteks lembaga, pendidikan dibedakan berdasarkan jalur, jenjang, jenis dan satuan pendidikan.
Sebagai proses, pendidikan diartikan sebagai proses untuk  mengajar, melatih, dan membimbing anak. Jadi pendidikan dapat diartikan sebagai :
Suatu usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.[13]

Dalam konteks sebagai institusi, pendidikan dipandang sebagai lembaga atau institusi, baik yang bernama keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, disebut sebagai pendidikan ekstrakurikuler.[14]
Untuk lebih mengarah kepada topik pembahasan pada sub ini, peneliti akan menguraikan secara terpisah dan terperinci mengenai kependidikan ekstrakurikuler tersebut.
1) Lingkungan keluarga.
Keluarga adalah “satuan organisasi atau pranata sosial yang terkecil dalam masyarakat”[15] keluarga ini terdiri atas bapak, ibu dan anak-anak kandungnya.
a)  Ayah, adalah orang yang terhormat dalam satu rumah tangga, karena kepadanya diserahkan kepemimpinan dalam rumah tangga. Dalam Alquran surat an Nisa ayat 34, Allah swt, berfirman :
ألرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ  

Terjemahnya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).[16]

Justeru itu ayah merupakan pengayom dan motivator serta penanggung jawab terhadap keluarganya, sebagaimana tuntutan Allah swt, dalam Alquran surat at-Tahirm ayat 6, yang berbunyi :

يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا أنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا

Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.[17]

Selanjutnya Nabi Muhammad saw, bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim  dari Abu Hurairah RA, yang berbunyi :

وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ [18]

Artinya : Dan laki-laki pemimpin terhadap lingkungan keluarganya dan dia ditanya tentang mereka.
Dengan demikian, ayah sebagai subyek pendidikan adalah harus mampu mengendalikan suasana rumah tangga sehingga terwujud ketenteraman dan kerukunan dalam rumah tangganya.
b)  Ibu, adalah orang yang paling utama dalam satu rumah tangga, karena dialah yang melahirkan anak, kemudian banyak menggunakan waktunya untuk bergaul dengan anak. Olehnya itu selain sebagai pendamping suami, ia cukup berperan sebagai pendidik pertama dan utama terhadap anak.
c)  Anak, adalah amanat Allah swt, kepada ayah dan ibu, oleh karena itu mereka harus diarahkan menuju kesempurnaan totalitas jiwa dan raga.
Lingkungan keluarga sebagai suatu lingkungan pendidikan informal pertama dan utama, khususnya menyangkut penanaman jiwa imtaq kepada anak, karena kedua orangtua ayah dan ibu lebih banyak memperoleh kesempatan bergaul dengan anak, kemudian segala sikap mental kedua orangtua yang berupa amal perbuatan dan tindakan yang bernilai ibadah dan bernilai pedagogic, senantiasa menjadi anutan bagi anak, mengingat bahwa ia lebih cenderung meniru perbuatan orang lain terutama kedua orang tuanya.
2) Lingkungan sekolah.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan pada Pasal 10 ayat (2), yang berbunyi “Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah”[19]
Di sekolah, dibawah asuhan guru-guru, anak-anak memperoleh pengajaran dan pendidikan. Anak-anak belajar berbagai macam pengetahuan dan keterampilan, yang akan dijadikan bekal untuk kehidupannya nanti di masyarakat. Memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada anak untuk kehidupannya nanti. Inilah sebenarnya tugas utama dari sekolah. [20]
Dengan demikian lingkungan sekolah merupakan bahagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Hanya saja karena tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orangtua dalam keluarga terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu, orangtua mengamanatkan kepada guru di sekolah untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya. 
3) Lingkungan masyarakat
Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang menduduki satu kawasan tertentu, yang anggota-anggota saling bergantung antara satu dengan yang lain. Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan adalah dituntut adanya suatu kondisi yang bernilai educatif dalam masyarakat tersebut.
Bertitik tolak dari uraian pada sub ini, penulis berkesimpulan bahwa pendidikan ekstrakurikuler adalah pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pisik dan psikis anak, yaitu lingkungan keluarga, dan sekolah serta masyarakat.
b. Dasar pendidikan ekstrakurikuler
Untuk membahas dasar yang melatar belakangi pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler tersebut, penulis akan menguraikan Pancasila sebagai dasar idealnya, dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar strukturalnya, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sebagai dasar operasionalnya.
1) Pancasila
Secara yuridis formal, Pancasila merupakan dasar ideal pelaksanaan pendidikan di Indonesia, apapun jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tersebut, karena Pancasila adalah falsafah dasar negara Republik Indonesia, yang pada sila pertama adalah “KeTuhanan Yang Maha Esa”.
Pancasila sebagai sumber dari segala peraturan perundangan yang berlaku di negara kita, hal tersebut berarti bahwa segala sumber hukum berkaitan erat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Artinya Pancasila digunakan untuk mengatur kehidupan negara.[21]

Oleh karena itu dipahami bahwa dasar yuridis eksistensi pendidikan ekstrakurikuler adalah ditopang oleh Pancasila sebagai dasar idealnya.

2) Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya itu berlaku pula hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam peraktek penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis. Oleh karena itu, sebagai dasar struktural pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler, dalam hal ini pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 dinyatakan bahwa :
Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial  . .[22]

Selanjutnya dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa :
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2.  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.[23]

Dengan keterangan tersebut, jelas bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar sturuktural yang menopang pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler. 


3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Sebagai landasan operasional pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler, pada pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional telah disebutkan tentang dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 merupakan dasar operasioanl pendidikan nasional.
Bertitik tolak dari keterangan pada sub ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa dasar yuridis yang melatarbelakangi pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler, adalah falsafah dasar negara Republik Indonesia, yaitu  Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.



[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, Landasan, Program, dan Pengembangan, (Jakarta : Dikdasmen, 1998), h. 4 

[2]Depdikbud RI, Peningkatan keimanan dan Ketaqwaan melalui Kegiatan Ekstrakurikuler, (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2001), h. 4

[3] Sudirman. N, dkk, Ilmu Pendidikan, Bandung : Rosda karya, 1987), h. 4

[4]Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan, (Padang : Angkasa Raya, t.th), h. 9


[5]”Lihat” Kartini Kartono, Ilmu Pendidikan, (Bandung : Mandar Maju, 1987), 216

[6]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 1

[7]Omar Mohammad al Toumi al Syaibani, Falsafatut Tarbiyyah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh : Hasan Langgulung, dengan judul : “Falsafah Pendidikan Islam” (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 101.

[8]Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Proyek Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, 1985), h. 77

[9]Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, t.th), h. 135

[10]M.Natsir, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang,  1973), h. 82

[11]Lihat H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 12 - 13

[12]Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Tp, t.th), h. 9


[13]Departemen Agama, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Umum, (Jakarta: Binbaga Islam, 1986), h. 5

[14] ”Lihat”, Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Proyek PSPB, 1975), h. 7

[15]JAF Mayor Polak, Sosiologi, (Jakarta : Ikhtiar, 1964), h. 38

[16] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengaaan Kitab Suci al-Quran, 1993), h. 125

[17]Ibid, h. 123

[18]Muslim bin al Hujjaj Abu al Husain al Qusyairy al Naisabury, Shihih Muslim, Juz V1 (Beirut : Dar Ihya al Turats al Araby, t.th), h.  8
[19]Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional,(T.Tp : Tp, t.th), h. 12

[20] Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, t.th),  h. 111

[21] Tem Penyusun, Pendidikan Pancasila, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 81

[22] BP7 pusat, Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: BP7 Pusat, t.th), h. 1

[23]Ibid, h. 7

Rabu, 12 Juli 2017

Optimalisasi Pemanfaatan media pengajaran dalam peningkatan motivasi belajar siswa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses belajar mengajar atau proses pengajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum suatu lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi para anak mencapai tujuan pendidikan yang talah ditetapkan. Tujuan pendidikan pada dasarnya mengantarkan para anak menuju pada perubahan-perubahan tingkah laku baik intelektual, moral maupun sosial agar dapat hidup mandiri sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut anak berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur guru melalui proses pengajaran.


Lingkungan belajar yang diatur oleh guru mencakup tujuan pengajaran, bahan pengajaran, metodologi pengajaran dan penilaian pengajaran, unsur-unsur tersebut biasa dikenal dengan komponen-komponen pengajaran. Tujuan pengajaran adalah rumusan kemampuan yang diharapkan dimiliki para anak setelah menempuh berbagai pengalaman belajarnya (pada akhir pengajaran).
Bahan pengajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber dari kurikulum dan dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Metodologi pengajaran adalah metode dan teknik yang digunakan guru dalam melakukan interaksinya dengan anak agar bahan pengajaran sampai kepada anak, sehingga anak mengetahui tujuan pelajaran.
Dalam metodolgi pengajaran ada dua aspek yang paling menonjol yakni metode mengajar dan media pengajaran sebagai alat bantu  mengajar. Sedangkjan penilaian adalah alat untuk mengukur atau menetukan taraf tecapai dan tidak tercapainya tujuan pengajaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kududukan media pengajaran sebagi alat bantu mengajar ada dalam komponen metodologi, sebagai salah satu lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling  melengkapi dan memperkaya”[1] Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan formal adalah mengemban tugas mewujudkan sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt.
Oleh karena itu, upaya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa di setiap jenjang dan tingkat pendidikan perlu diwujudkan agar diperoleh kualitas sumber daya manusia yang dapat menunjang pembangunan nasional. Upaya tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab semua tenaga kependidikan di Pesantren. Sungguhpun demikian dipahami bahwa peranan guru sangat menentukan, sebab gurulah yang langsung dalam membina para siswa melalui proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan kualitas pendidikan harus lebih banyak dilakukan para guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar.
Salah satu upaya dimaksud adalah penggunaan media pengajaran dalam proses belajar mengajar. Penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi motivasi belajar siswa yang pada akhirnya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar sehingga kualitas hasil belajar siswapun meningkat.
Motivasi belajar pada hakikatnya adalah suatu dorongan dan minat sehingga memiliki kecenderungan untuk berbuat atau berusaha secara sadar guna memperoleh sesuatu hasil yang memuaskan, dalam hal ini berusaha untuk mengetahui sesuatu hal yang tidak diketahui guna memahami, dan menghayati serta mengamalkannya. Oleh karena itu, Optimalisasi Pemanfaatan media pengajaran sangat berpotensi untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, karena media pengajaran dapat memudahkan dan mendekatkan obyek yang jauh.

 B. Rumusan Masalah


Sehubungan dengan landasan berpikir yang telah diuraikan pada pembahasan di atas, penulis dapat mengajukan permasalahan yaitu “Bagaimana usaha guru dalam mengoptimalkan media pengajaran dalam meningkatkan motivasi belajar siswa?
Dengan merujuk pada permasalahan tersebut, maka sub masalah dalam penelitian ini, adalah : (1) Bagaimana optimalisasi pemanfaatan media pengajaran serta (2) Bagaimana pengaruh media pengajaran dalam meningkatkan motovasi belajar siswa.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian.
Adapun tujuan yang diharapkan diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh penulis, adalah :
a.    Untuk memperoleh data tentang optimalisasi pemanfaatan media pengajaran dalam meningkatkan motivasi belajar siswa.
b.    Untuk mendeskripsikan pengaruh media pengajaran dalam meningkatkan motivasi belajar siswa.

2. Kegunaan penelitian.
a.       Kegunaan ilmiah, adalah memberi masukan kepada para tenaga pendidik/guru khususnya guru pesantren tentang optimalisasi pemanfaatan media pengajaran dalam meningkatkan motivasi belajar siswa.
b.      Kegunaan praktis, yaitu memberi wawasan tentang manfaat dan pengaruh media pengajaran dalam meningkatkan motivasi belajar siswa.

D. Pengertian Judul dan Definisi Operasional

1. Pengertian judul

a. Optimalisasi pemanfaatan media pengajaran
1)  Optimalisasi, berarti “proses, cara, perbuatan mengoptimalkan (menjadikan paling baik, paling tinggi”[2]
2)  Media, berarti “Semua bentuk peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan sesuatu (informasi, gagasan) kepada orang lain”[3]
3)  Pengajaran, berarti “proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan”[4]
Optimalisasi pemanfaatan media pengajaran merupakan suatu usaha untuk memberdayakan segala alat dan sumber belajar dalam kegiatan interaksi belajar mengajar secara klasikal.
b. Meningkatkan motivasi belajar siswa
1) Motivasi, berarti “perhatian yang mengandung unsur-unsur perasaan”[5]
2) Belajar, berarti “berusaha supaya mendapat suatu kepandaian”[6]
3) Siswa dalam arti peserta didik atau anak didik, yaitu ”Anak-anak yang dikenai pekerjaan dididik atau sebagai obyek pendidikan”[7]
Motivasi belajar siswa/peserta didik adalah adanya animo dan kemauan dari dalam diri anak untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, sehingga terdorong untuk belajar guna memperoleh pengetahuan.

2. Definisi Operasional
Bertolak dari gambaran yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa definisi operasional yang tercakup dalam judul tersebut, adalah :
Optimalisasi pemanfaatan media pengajaran adalah penggunaan secara maksimal segala alat bantu mengajar guna mengantar peserta didik kepada pencapaian hasil belajar.
Motivasi belajar merupakan semangat dan dorongan jiwa yang diekspresikan melalui kecenderungan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan belajar.
Pengaruh optimalisasi pemanfaatan media pengajaran yang penulis maksudkan adalah perubahan yang diperoleh siswa berupa bertambahnya semangat dan motivasi belajar.









Media Pengajaran

a. Pengertian media pengajaran
Untuk menguraikan masalah tersebut, penulis terlebih dahulu membahas arti belajar, sebagaimana E.R.Guthrie yang dikutif Arifin, mengemukakan bahwa belajar adalah “suatu perubahan tingkah laku akibat dari pengalaman yang diperoleh, melalui suatu usaha yang disengaja”[1]
Sedangkan pengertian belajar yang dikemukakan oleh  bapak H.Engkoswara, M.Ed, adalah “Proses perubahan perilaku yang dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan penilaian tentang pengetahuan, sikap dan nilai dan keterampilan”.[2]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa istilah belajar menunjukkan arti sebagai suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku setelah terjadi interaksi dengan media pembelajaran dalam hal ini berupa buku, lingkungan, guru atau sesama teman. Dengan kata lain bahwa belajar adalah suatu rangkaian kegiatan response yang terjadi dalam satu rangkaian belajar mengajar, yang berakhir pada terjadinya perubahan tingkah laku baik jasmaniah maupun rohaniah akibat pengalaman atau pengetahuan yang diperoleh.
Pengertian lain dikemukakan H. Carl Witherington, bahwa belajar adalah :
Suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatukan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian.[3]

Dengan demikian jelas bahwa belajar merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai suatu proses usaha untuk memperoleh perubahan, baik dalam bentuk pengetahuan maupun sikap dan keterampilan. Artinya bahwa setelah melalui perbuatan belajar, maka terjadi perubahan signifikan baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik
Bertitik tolak dari gambaran atau pengertian istilah belajar sebagaimana yang diuraikan pada pembahasan terdahulu, dapat dipahami bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menjadi subyek pelajaran, termasuk alat pelajaran.
Oleh M. Sastrapradja, mengemukakan pengertian media  pelajaran, yaitu “Media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan  dan isi pengajaran, serta dimaksudkan untuk lebih meningkatkan mutu belajar mengajar”[4]
Jadi media pengajaran berarti semua bentuk peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan sesuatu informasi, gagasan dan sebagainya kepada orang lain.
Adapun pengertian alat pengajaran yaitu segala alat yang dapat menunjang keefektifan dan efisiensi pengajaran atau segala alat yang digunakan untuk menyampaikan pelajaran, dalam arti bahwa alat tersebut digunakan untuk memberi atau memudahkan ketercapaian interaksi pembelajaran serta memudahkan peserta didik untuk memahami dan menyerap pelajaran, seperti alat peraga dan praktek.
Alat peraga yaitu alat yang diragakan/dipertunjukkan dalam kegiatan belajar yang berfungsi sebagai sarana untuk memperjelas dan memvisualkan konsep, ide atau pengertian tertentu, . . .
Sedangkan Alat praktek, yaitu alat yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang berfungsi sebagai sarana untuk berlatih, guna mencapai keterampilan tertentu. [5]
Berdasarkan keterangan yang diuraikan pada sub ini, penulis dapat berkesimpulan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menjadi subyek pengajaran termasuk sarana atau alat pelajaran yang dapat menunjang keefektifan dan efisiensi pengajaran, sehingga pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berdaya guna dalam meningkatkan motivasi belajar santri atau peserta didik.
b. Nilai dan manfaat media pengajaran
Untuk menguraikan masalah tersebut, penulis akan membahas tentang peranan media pembelajaran sebagai nilai dan manfaat dari media pengajaran yang meliputi manusia itu sendiri, bahan atau materi pelajaran, alat pengajaran, dan aktivitas belajar mengajar.
Secara umum media pembelajaran berperan penting dalam kegiatan belajar mengajar sehingga menjadi faktor pendukung dalam keberhasilan kegiatan belajar mengajar sekaligus berperan sebagai penunjang dalam rangka peningkatan mutu atau kualitas pendidikan. Untuk itu, penulis akan menjabarkan optimalisasi pemanfaatan media pengajaran menurut fungsinya masing-masing, sebagai berikut :
a. Manusia (people)
Berbicara tentang manusia sebagai sumber belajar/media pembelajaran, maka ia adalah  orang dewasa jasmani maupun rohaninya, yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk memimpin, membimbing dan menolong anak yang belum dewasa jasmani maupun rohaninya menuju kesempurnaannya. Berbicara lebih jauh tentang masalah tersebut,  penulis akan membahas eksistensi orang tua dan guru.
1) Orang tua.
Yaitu ayah dan ibu selaku pemimpin dalam satu rumah tangga, beliaulah yang menjadi media pembelajaran atau pendidik utama dan pertama bagi setiap manusia/anak, sehingga ia dituntut secara efektif dan efisien serta kontinue dalam mengarahkan anak-anaknya. Untuk itu, Allah swt. berfirman dalam al Quran surat at Tahrim ayat 6, yang berbunyi :
. . . قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ نَا رًا . . .
Terjemahnya :
…peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…[6]

Kedua orang tua tersebut dituntut untuk mempertanggung jawabkan dirinya sebagai media pembelajaran bagi anak-anaknya, sebagaimana yang dikemukakan Nabi  Muhammad   saw,   dalam  hadits  yang diriwayat- kan Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar ra, yang berbunyi :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأََمِيْرُ الَّذِي عَلَى النَّا سِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ  عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ  عَلَى بَيْتَ بَعْلِهَا وَوَا لِدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ (رواه مسلم) [7]
Artinya : Semua kamu adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang kepimimpinanmu. Pemimpin itu adalah pengembala dan ia akan ditanya tentang gembalaannya, laki-laki itu adalah pengembala terhadap keluarganya dan ia akan ditanya tentang gembalaannya,  perempuan  atau ibu adalah pengembala dalam rumah tangga suaminya, dan ia akan ditanya tentang gembalaannya . . .
 Olehnya itu, jelas bahwa orang tua sebagai media pembelajaran bagi anak, adalah berperan sebagai peletak dasar pertama pendidikan bagi setiap anak, yang kelak sebagai bekal menuju/menghadapi lingkungan sekolah dan masyarakat.
2)  Guru.
Guru yaitu orang dewasa yang diangkat dan ditugaskan untuk mengajarkan di sekolah. Untuk diangkat menjadi seorang guru sebagai sumber belajar, maka calon guru harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Syarat formal/profesional, yaitu berijazah guru/tarbiyah.
b) Syarat non formal/kepribadian, yaitu :
memiliki loyalitas terhadap pemerintah, berakhlak mulia serta taat melaksanakan ajaran agama Islam, memiliki dedikasi terhadap tugasnya, ikhlas dan mencintai tugasnya, pemaaf, tidak menaruh rasa dendam di jiwanya, memiliki kepekaan terhadap tabiat murid, sehingga ia harus memperhatikan tingkat kecerdasan murid-muridnya, memiliki sifat terbuka dan berterus terang, zuhud, yaitu mengajar semata-mata karena mencari  keridhaan Tuhan. [8]

Dengan demikian seorang guru sebagai media pembelajaran berperan untuk membelajarkan anak sehingga memperoleh perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
b. Bahan pelajaran.
Yaitu materi pelajaran yang bersumber dari "masyarakat dan kebudayaannya, anak dengan motivasi dan kebutuhannya"[9]  Artinya bahwa materi pelajaran yang diajarkan kepada siswa adalah sesuai dengan keinginan masyarakat, dan dapat dimotivasii, diserap, serta sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan  perkembangan  anak  atau  siswa.
Jadi peranan bahan atau materi pelajaran sebagai media pembelajaran adalah membelajarkan anak sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan masyarakat pada umumnya.
c. Lingkungan (setting)
Sebagaimana telah diuraikan bahwa yang dimaksud lingkungan sebagai media pembelajaran, adalah lingkungan sekolah dalam arti sarana fisik sekolah seperti ruang belajar, perpustakaan, laboratorium dan lain-lain, dengan demikian ia berperan sebagai penunjang  secara tidak langsung dalam proses belajar mengajar.
d. Media dan alat pendidikan.
Peranan media dan alat pembelajaran begitu pula perbukuan sekolah dalam proses belajar mengajar sangat penting dalam pencapaian tujuan pembelajaran, baik media maupun alat peraga/praktek serta perbukuan sekolah terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar dan berfungsi memperlancar kegiatan serta mempermudah penangkapan pengertian dalam proses interaksi antara guru dengan siswa.
e. Aktivitas Proses belajar mengajar
Pada dasarnya proses belajar mengajar merupakan upaya guru dalam mengoperasionalkan kurikulum agar diserap oleh siswa, bersifat perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan adanya proses belajar mengajar tersebut, guru dapat menggunakan metode mengajar yang efektif sehingga tercapai tujuan. Oleh karena itu aktivitas pembelajaran berperan untuk mewujudkan tujuan yang dicita-citakan dalam kegiatan belajar mengajar.
Bertitik tolak dari keterangan pada sub ini, penulis berkesimpulan bahwa nilai dan manfaat media pembelajaran adalah sebagai penunjang dan pendukung ketercapaian kegiatan pengajaran yang efektif dan efisien sehingga berdaya dan berhasil guna dalam arti mewujudkan tujuan pembelajaran, baik mengenai aspek kognitif, maupun aspek afektif dan psikomotoriknya.
c. Jenis-Jenis dan Kriteria memilih media pengajaran
Media pembelajaran terdapat dimana-mana. Pemanfaatan sumber-sumber pengajaran tersebut bergantung pada kreativitas guru, waktu, biaya, serta kebijakan-kebijakan lainnya.




Pendidikan Ekstrakurikuler

Pendidikan Ekstrakurikuler a. Pengertian pendidikan ekstrakurikuler Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan d...