Pendidikan Ekstrakurikuler
a. Pengertian pendidikan ekstrakurikuler
Pendidikan ekstrakurikuler adalah
kegiatan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam
susunan program sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah.
Pendidikan ekstrakurikuler adalah
kegiatan pengayaan dan perbaikan
berkaitan dengan program kurikuler, kegiatan-kegiatan tersebut
dimaksudkan untuk lebih memantapkan pembentukan kepribadian siswa, seperti :
“kepramukaan, usaha kesehatan sekolah, olahraga, palang
merah, kesenian, dan kegiatan lainnya diselenggarakan juga dengan menggunakan
waktu di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program.
Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan juga untuk lebih mengaitkan antara
pengetahuan yang diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan
lingkungan.[1]
Dalam Keputusan Dirjen Dikdasmen,
dikemukakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah :
Kegiatan di luar jam pelajaran biasa dan pada waktu
libur sekolah, yang dilakukan di sekolah atau di luar sekolah, dengan tujuan
untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan siswa, mengenal hubungan antara
berbagai mata pelajaran, penyaluran bakat dan minat, serta melengkapi upaya
pembinaan manusia seutuhnya.[2]
Untuk membahas lebih lanjut
tentang sub tersebut, penulis terlebih dahulu
menguraikan arti pendidikan, yaitu :
Usaha yang dijalankan oleh seorang atau sekelompok
orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi
dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti
mental.[3]
Rousseau, mengemukakan bahwa
pendidikan adalah “memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak,
akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa”[4]
Istilah pendidikan merupakan
padanan kata dari istilah pedagogi. Kata pedagogi (paedagogis) berasal dari dua
patah kata bahasa latin, yakni : “paes artinya anak dan again artinya
membimbing”[5]. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha yang
dilakukan untuk membimbing anak atau bimbingan yang diberikan kepada anak
didik. kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa Inggeris menjadi education dengan arti pengembangan atau
bimbingan, selanjutnya dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tarbiyah yang
berarti pendidikan.[6]
Dalam pandangan para pakar
pendidikan, telah berbeda pandangan sesuai sudut analisanya masing-masing dalam
memberikan batasan istilah pendidikan, seperti pengertian pendidikan yang
dikemukakan berikut ini :
Omar Mohammad al Toumi
al Syaibany, mengatakan bahwa pendidikan
adalah :
“. . . usaha yang
dicurahkan untuk menolong insan menyingkap dan menemui rahasia alam, memupuk
bakat dan persediaan semula jadinya, mengarahkan kecenderungannya, . . .”[7]
Konsep di atas asumsi
dasarnya adalah hakikat pendidikan ditentukan oleh hakikat manusianya atau
antropologi metafisikanya, dalam hal ini manusia dipandang sebagai homosapiens
yaitu sejenis makhluk yang dapat berpikir dan mampu berilmu pengetahuan. Jadi
pada hakikatnya setiap manusia memperoleh hak untuk berpikir guna mencari
kebenaran mutlak atau kebenaran yang hakiki sebagaimana kemampuan berpikir dan
menganalisa sesuatu.
Ki Hajar Dewantara,
mengemukakan bahwa pendidikan adalah
“Menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik kita supaya
menjadi manusia beradab dan susila”[8]
Konsep tersebut meninjau
proses pendidikan dari sudut internal dalam diri manusia/anak, sehingga lebih
mengarah kepeninjauan tentang hakikat psikologis.
Oleh pakar sosiologis
memberi definisi mengenai pendidikan dengan argumentasinya bahwa “education
in the proces by which the individual is thought loyalty in conpromity to the
group and to social institutions”[9]
Pendidikan adalah suatu
kegiatan yang mana individual dibina agar menjadi loyal serta setia dan
menyesuaikan diri pada kelompok atau lembaga sosial.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk mengarahkan manusia
sehingga mencapai cita-cita yang diinginkan, yaitu terwujudnya kepribadian yang
utuh, baik jasmani maupun rohani. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan adalah
“suatu usaha memanusiawikan seseorang, yaitu suatu pimpinan jasmani dan rohani
yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan
arti yang sesungguhnya”[10]
John Dewey berpendapat
bahwa pendidikan adalah proses yang tanpa akhir (Education is the process
without end). Dan pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar
yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (daya intelektual) maupun
daya emosional (perasaan) yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada
sesamanya. Karena John Dewey berfaham behaviorisme, dimana pengaruh pendidikan
“dipandang dapat membentuk manusia menjadi apa saja yang diinginkan oleh
pendidik”.[11] Maka istilah pembentukan ciri khas
yang menunjukkan kekuasaan pendidik terhadap anak didik.
Dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”[12]
Keterangan tersebut
menunjukkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembimbingan,
pembelajaran, dan atau pelatihan terhadap anak didik/peserta didik sehingga
mereka dapat melaksanakan peranan serta tugas-tugas hidupnya dengan
sebaik-baiknya.
Definisi-definisi yang
dikemukakan di atas, pada hakikatnya menunjukkan bahwa pendidikan adalah suatu
usaha sadar yang diarahkan kepada pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun
rohani peserta didik atau anak didik. Atau usaha yang disengaja untuk
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik menuju kesempurnaannya
atau sehingga terbentuk kedewasaannya. Jadi
dapat dipahami bahwa
peserta didik yang dimaksud dalam tulisan ini ialah murid atau siswa,
yaitu anak atau orang yang belum dewasa pisik maupun psikisnya.
Dalam wacana formal
perundang-undangan, pendidikan dapat berarti lembaga dan sekaligus proses.
Dalam wacana umum, pendidikan dapat diartikan sebagai lembaga dan sekaligus
proses. Dalam konteks lembaga, pendidikan dibedakan berdasarkan jalur, jenjang,
jenis dan satuan pendidikan.
Sebagai proses, pendidikan diartikan
sebagai proses untuk mengajar, melatih,
dan membimbing anak. Jadi pendidikan dapat diartikan sebagai :
Suatu usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang
dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi anak agar
mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.[13]
Dalam konteks sebagai institusi,
pendidikan dipandang sebagai lembaga atau institusi, baik yang bernama
keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki
Hajar Dewantoro, disebut sebagai pendidikan ekstrakurikuler.[14]
Untuk lebih mengarah kepada topik
pembahasan pada sub ini, peneliti akan menguraikan secara terpisah dan
terperinci mengenai kependidikan ekstrakurikuler tersebut.
1) Lingkungan keluarga.
Keluarga adalah “satuan organisasi
atau pranata sosial yang terkecil dalam masyarakat”[15] keluarga ini terdiri atas bapak, ibu dan anak-anak kandungnya.
a) Ayah, adalah orang yang
terhormat dalam satu rumah tangga, karena kepadanya diserahkan kepemimpinan
dalam rumah tangga. Dalam Alquran surat an Nisa ayat 34, Allah swt, berfirman :
ألرِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Terjemahnya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita).[16]
Justeru itu ayah merupakan
pengayom dan motivator serta penanggung jawab terhadap keluarganya, sebagaimana
tuntutan Allah swt, dalam Alquran surat at-Tahirm ayat 6, yang berbunyi :
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا أنْفُسَكُمْ
وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا
Terjemahnya :
Selanjutnya Nabi Muhammad saw,
bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah RA, yang berbunyi :
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ
عَنْهُمْ [18]
Artinya : Dan laki-laki pemimpin
terhadap lingkungan keluarganya dan dia ditanya tentang mereka.
Dengan demikian, ayah sebagai
subyek pendidikan adalah harus mampu mengendalikan suasana rumah tangga
sehingga terwujud ketenteraman dan kerukunan dalam rumah tangganya.
b) Ibu, adalah orang yang paling
utama dalam satu rumah tangga, karena dialah yang melahirkan anak, kemudian
banyak menggunakan waktunya untuk bergaul dengan anak. Olehnya itu selain
sebagai pendamping suami, ia cukup berperan sebagai pendidik pertama dan utama
terhadap anak.
c) Anak, adalah amanat Allah swt,
kepada ayah dan ibu, oleh karena itu mereka harus diarahkan menuju kesempurnaan
totalitas jiwa dan raga.
Lingkungan keluarga sebagai suatu
lingkungan pendidikan informal pertama dan utama, khususnya menyangkut
penanaman jiwa imtaq kepada anak, karena kedua orangtua ayah dan ibu lebih
banyak memperoleh kesempatan bergaul dengan anak, kemudian segala sikap mental
kedua orangtua yang berupa amal perbuatan dan tindakan yang bernilai ibadah dan
bernilai pedagogic, senantiasa menjadi anutan bagi anak, mengingat bahwa ia
lebih cenderung meniru perbuatan orang lain terutama kedua orang tuanya.
2) Lingkungan sekolah.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan
pada Pasal 10 ayat (2), yang berbunyi “Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan
melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar
sekolah”[19]
Di sekolah, dibawah asuhan guru-guru, anak-anak
memperoleh pengajaran dan pendidikan. Anak-anak belajar berbagai macam
pengetahuan dan keterampilan, yang akan dijadikan bekal untuk kehidupannya
nanti di masyarakat. Memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada
anak untuk kehidupannya nanti. Inilah sebenarnya tugas utama dari sekolah. [20]
Dengan demikian lingkungan sekolah
merupakan bahagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus merupakan
lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Hanya saja karena tidak semua tugas mendidik
dapat dilaksanakan oleh orangtua dalam keluarga terutama dalam hal ilmu
pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu, orangtua
mengamanatkan kepada guru di sekolah untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya.
3) Lingkungan masyarakat
Masyarakat merupakan suatu
kelompok manusia yang menduduki satu kawasan tertentu, yang anggota-anggota
saling bergantung antara satu dengan yang lain. Masyarakat sebagai lingkungan
pendidikan adalah dituntut adanya suatu kondisi yang bernilai educatif dalam
masyarakat tersebut.
Bertitik tolak dari uraian pada
sub ini, penulis berkesimpulan bahwa pendidikan ekstrakurikuler adalah
pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pisik dan psikis anak,
yaitu lingkungan keluarga, dan sekolah serta masyarakat.
b. Dasar pendidikan ekstrakurikuler
Untuk membahas dasar yang melatar belakangi pelaksanaan pendidikan
ekstrakurikuler tersebut, penulis akan menguraikan Pancasila sebagai dasar
idealnya, dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar strukturalnya, dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sebagai dasar operasionalnya.
1) Pancasila
Secara yuridis formal, Pancasila
merupakan dasar ideal pelaksanaan pendidikan di Indonesia, apapun jalur, jenis,
dan jenjang pendidikan tersebut, karena Pancasila adalah falsafah dasar negara
Republik Indonesia, yang pada sila pertama adalah “KeTuhanan Yang Maha Esa”.
Pancasila sebagai sumber dari segala peraturan
perundangan yang berlaku di negara kita, hal tersebut berarti bahwa segala
sumber hukum berkaitan erat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Artinya
Pancasila digunakan untuk mengatur kehidupan negara.[21]
Oleh karena itu dipahami bahwa
dasar yuridis eksistensi pendidikan ekstrakurikuler adalah ditopang oleh
Pancasila sebagai dasar idealnya.
2) Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya
itu berlaku pula hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam peraktek penyelenggaraan negara meskipun
tidak ditulis. Oleh karena itu, sebagai dasar struktural pelaksanaan pendidikan
ekstrakurikuler, dalam hal ini pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4
dinyatakan bahwa :
Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial . .[22]
Selanjutnya dalam Pasal 31
Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa :
1. Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran.
2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.[23]
Dengan keterangan tersebut, jelas
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar sturuktural yang menopang
pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Sebagai landasan operasional
pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler, pada pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang
Sistem Pendidikan nasional telah disebutkan tentang dasar, fungsi dan tujuan
pendidikan nasional. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 merupakan dasar operasioanl pendidikan nasional.
Bertitik tolak dari keterangan pada sub ini, penulis dapat menyimpulkan
bahwa dasar yuridis yang melatarbelakangi pelaksanaan pendidikan
ekstrakurikuler, adalah falsafah dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Menengah, Landasan, Program, dan Pengembangan, (Jakarta : Dikdasmen, 1998),
h. 4
[2]Depdikbud RI, Peningkatan keimanan dan Ketaqwaan melalui Kegiatan
Ekstrakurikuler, (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2001), h. 4
[3] Sudirman. N, dkk, Ilmu Pendidikan, Bandung : Rosda karya,
1987), h. 4
[4]Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan, (Padang : Angkasa
Raya, t.th), h. 9
[5]”Lihat” Kartini Kartono, Ilmu Pendidikan, (Bandung : Mandar
Maju, 1987), 216
[6]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998),
h. 1
[7]Omar Mohammad al Toumi al Syaibani, Falsafatut
Tarbiyyah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh : Hasan Langgulung, dengan
judul : “Falsafah Pendidikan Islam” (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h.
101.
[8]Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta:
Proyek Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, 1985), h. 77
[10]M.Natsir, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), h. 82
[11]Lihat H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 12 - 13
[12]Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Tp, t.th), h. 9
[13]Departemen Agama, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Sekolah
Umum, (Jakarta: Binbaga Islam, 1986), h. 5
[14] ”Lihat”, Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Proyek
PSPB, 1975), h. 7
[15]JAF Mayor Polak, Sosiologi, (Jakarta : Ikhtiar, 1964), h. 38
[16] Departemen Agama RI, al-Quran dan
Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengaaan Kitab Suci al-Quran, 1993), h. 125
[18]Muslim bin al Hujjaj Abu al Husain al Qusyairy al Naisabury, Shihih
Muslim, Juz V1 (Beirut : Dar Ihya al Turats al Araby, t.th), h. 8
[20] Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya
: Usaha Nasional, t.th), h. 111
[21] Tem Penyusun, Pendidikan Pancasila, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), h. 81
[22] BP7 pusat, Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: BP7 Pusat,
t.th), h. 1
[23]Ibid, h. 7