Kamis, 13 Juli 2017

Pendidikan Ekstrakurikuler

Pendidikan Ekstrakurikuler
a. Pengertian pendidikan ekstrakurikuler
Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah.
Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan pengayaan dan perbaikan  berkaitan dengan program kurikuler, kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan pembentukan kepribadian siswa, seperti :
“kepramukaan, usaha kesehatan sekolah, olahraga, palang merah, kesenian, dan kegiatan lainnya diselenggarakan juga dengan menggunakan waktu di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program. Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan juga untuk lebih mengaitkan antara pengetahuan yang diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.[1]

Dalam Keputusan Dirjen Dikdasmen, dikemukakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah :
Kegiatan di luar jam pelajaran biasa dan pada waktu libur sekolah, yang dilakukan di sekolah atau di luar sekolah, dengan tujuan untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan siswa, mengenal hubungan antara berbagai mata pelajaran, penyaluran bakat dan minat, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya.[2]

Untuk membahas lebih lanjut tentang sub tersebut, penulis terlebih dahulu  menguraikan arti pendidikan, yaitu :
Usaha yang dijalankan oleh seorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[3]   

Rousseau, mengemukakan bahwa pendidikan adalah “memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa”[4]
Istilah pendidikan merupakan padanan kata dari istilah pedagogi. Kata pedagogi (paedagogis) berasal dari dua patah kata bahasa latin, yakni : “paes artinya anak dan again artinya membimbing”[5]. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan untuk membimbing anak atau bimbingan yang diberikan kepada anak didik. kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggeris menjadi education dengan arti pengembangan atau bimbingan, selanjutnya dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tarbiyah yang berarti pendidikan.[6]
Dalam pandangan para pakar pendidikan, telah berbeda pandangan sesuai sudut analisanya masing-masing dalam memberikan batasan istilah pendidikan, seperti pengertian pendidikan yang dikemukakan berikut ini :
Omar Mohammad al Toumi al Syaibany, mengatakan bahwa  pendidikan adalah :
“. . . usaha yang dicurahkan untuk menolong insan menyingkap dan menemui rahasia alam, memupuk bakat dan persediaan semula jadinya, mengarahkan kecenderungannya, . . .”[7]

Konsep di atas asumsi dasarnya adalah hakikat pendidikan ditentukan oleh hakikat manusianya atau antropologi metafisikanya, dalam hal ini manusia dipandang sebagai homosapiens yaitu sejenis makhluk yang dapat berpikir dan mampu berilmu pengetahuan. Jadi pada hakikatnya setiap manusia memperoleh hak untuk berpikir guna mencari kebenaran mutlak atau kebenaran yang hakiki sebagaimana kemampuan berpikir dan menganalisa sesuatu.
Ki Hajar Dewantara, mengemukakan bahwa pendidikan adalah  “Menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik kita supaya menjadi manusia beradab dan susila”[8]
Konsep tersebut meninjau proses pendidikan dari sudut internal dalam diri manusia/anak, sehingga lebih mengarah kepeninjauan tentang hakikat psikologis.
Oleh pakar sosiologis memberi definisi mengenai pendidikan dengan argumentasinya bahwa “education in the proces by which the individual is thought loyalty in conpromity to the group and to social institutions[9]
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang mana individual dibina agar menjadi loyal serta setia dan menyesuaikan diri pada kelompok atau lembaga sosial.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk mengarahkan manusia sehingga mencapai cita-cita yang diinginkan, yaitu terwujudnya kepribadian yang utuh, baik jasmani maupun rohani. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan adalah “suatu usaha memanusiawikan seseorang, yaitu suatu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya”[10]
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang tanpa akhir (Education is the process without end). Dan pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (daya intelektual) maupun daya emosional (perasaan) yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Karena John Dewey berfaham behaviorisme, dimana pengaruh pendidikan “dipandang dapat membentuk manusia menjadi apa saja yang diinginkan oleh pendidik”.[11] Maka istilah pembentukan ciri khas yang menunjukkan kekuasaan pendidik terhadap anak didik.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”[12]
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembimbingan, pembelajaran, dan atau pelatihan terhadap anak didik/peserta didik sehingga mereka dapat melaksanakan peranan serta tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya.
Definisi-definisi yang dikemukakan di atas, pada hakikatnya menunjukkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha sadar yang diarahkan kepada pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani peserta didik atau anak didik. Atau usaha yang disengaja untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik menuju kesempurnaannya atau sehingga terbentuk kedewasaannya. Jadi  dapat  dipahami  bahwa  peserta didik yang dimaksud dalam tulisan ini ialah murid atau siswa, yaitu anak atau orang yang belum dewasa pisik maupun psikisnya.
Dalam wacana formal perundang-undangan, pendidikan dapat berarti lembaga dan sekaligus proses. Dalam wacana umum, pendidikan dapat diartikan sebagai lembaga dan sekaligus proses. Dalam konteks lembaga, pendidikan dibedakan berdasarkan jalur, jenjang, jenis dan satuan pendidikan.
Sebagai proses, pendidikan diartikan sebagai proses untuk  mengajar, melatih, dan membimbing anak. Jadi pendidikan dapat diartikan sebagai :
Suatu usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.[13]

Dalam konteks sebagai institusi, pendidikan dipandang sebagai lembaga atau institusi, baik yang bernama keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, disebut sebagai pendidikan ekstrakurikuler.[14]
Untuk lebih mengarah kepada topik pembahasan pada sub ini, peneliti akan menguraikan secara terpisah dan terperinci mengenai kependidikan ekstrakurikuler tersebut.
1) Lingkungan keluarga.
Keluarga adalah “satuan organisasi atau pranata sosial yang terkecil dalam masyarakat”[15] keluarga ini terdiri atas bapak, ibu dan anak-anak kandungnya.
a)  Ayah, adalah orang yang terhormat dalam satu rumah tangga, karena kepadanya diserahkan kepemimpinan dalam rumah tangga. Dalam Alquran surat an Nisa ayat 34, Allah swt, berfirman :
ألرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ  

Terjemahnya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).[16]

Justeru itu ayah merupakan pengayom dan motivator serta penanggung jawab terhadap keluarganya, sebagaimana tuntutan Allah swt, dalam Alquran surat at-Tahirm ayat 6, yang berbunyi :

يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا أنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا

Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.[17]

Selanjutnya Nabi Muhammad saw, bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim  dari Abu Hurairah RA, yang berbunyi :

وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ [18]

Artinya : Dan laki-laki pemimpin terhadap lingkungan keluarganya dan dia ditanya tentang mereka.
Dengan demikian, ayah sebagai subyek pendidikan adalah harus mampu mengendalikan suasana rumah tangga sehingga terwujud ketenteraman dan kerukunan dalam rumah tangganya.
b)  Ibu, adalah orang yang paling utama dalam satu rumah tangga, karena dialah yang melahirkan anak, kemudian banyak menggunakan waktunya untuk bergaul dengan anak. Olehnya itu selain sebagai pendamping suami, ia cukup berperan sebagai pendidik pertama dan utama terhadap anak.
c)  Anak, adalah amanat Allah swt, kepada ayah dan ibu, oleh karena itu mereka harus diarahkan menuju kesempurnaan totalitas jiwa dan raga.
Lingkungan keluarga sebagai suatu lingkungan pendidikan informal pertama dan utama, khususnya menyangkut penanaman jiwa imtaq kepada anak, karena kedua orangtua ayah dan ibu lebih banyak memperoleh kesempatan bergaul dengan anak, kemudian segala sikap mental kedua orangtua yang berupa amal perbuatan dan tindakan yang bernilai ibadah dan bernilai pedagogic, senantiasa menjadi anutan bagi anak, mengingat bahwa ia lebih cenderung meniru perbuatan orang lain terutama kedua orang tuanya.
2) Lingkungan sekolah.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan pada Pasal 10 ayat (2), yang berbunyi “Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah”[19]
Di sekolah, dibawah asuhan guru-guru, anak-anak memperoleh pengajaran dan pendidikan. Anak-anak belajar berbagai macam pengetahuan dan keterampilan, yang akan dijadikan bekal untuk kehidupannya nanti di masyarakat. Memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada anak untuk kehidupannya nanti. Inilah sebenarnya tugas utama dari sekolah. [20]
Dengan demikian lingkungan sekolah merupakan bahagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Hanya saja karena tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orangtua dalam keluarga terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu, orangtua mengamanatkan kepada guru di sekolah untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya. 
3) Lingkungan masyarakat
Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang menduduki satu kawasan tertentu, yang anggota-anggota saling bergantung antara satu dengan yang lain. Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan adalah dituntut adanya suatu kondisi yang bernilai educatif dalam masyarakat tersebut.
Bertitik tolak dari uraian pada sub ini, penulis berkesimpulan bahwa pendidikan ekstrakurikuler adalah pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pisik dan psikis anak, yaitu lingkungan keluarga, dan sekolah serta masyarakat.
b. Dasar pendidikan ekstrakurikuler
Untuk membahas dasar yang melatar belakangi pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler tersebut, penulis akan menguraikan Pancasila sebagai dasar idealnya, dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar strukturalnya, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sebagai dasar operasionalnya.
1) Pancasila
Secara yuridis formal, Pancasila merupakan dasar ideal pelaksanaan pendidikan di Indonesia, apapun jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tersebut, karena Pancasila adalah falsafah dasar negara Republik Indonesia, yang pada sila pertama adalah “KeTuhanan Yang Maha Esa”.
Pancasila sebagai sumber dari segala peraturan perundangan yang berlaku di negara kita, hal tersebut berarti bahwa segala sumber hukum berkaitan erat dengan Pancasila sebagai dasar negara. Artinya Pancasila digunakan untuk mengatur kehidupan negara.[21]

Oleh karena itu dipahami bahwa dasar yuridis eksistensi pendidikan ekstrakurikuler adalah ditopang oleh Pancasila sebagai dasar idealnya.

2) Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya itu berlaku pula hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam peraktek penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis. Oleh karena itu, sebagai dasar struktural pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler, dalam hal ini pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 dinyatakan bahwa :
Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial  . .[22]

Selanjutnya dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa :
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2.  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.[23]

Dengan keterangan tersebut, jelas bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar sturuktural yang menopang pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler. 


3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Sebagai landasan operasional pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler, pada pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional telah disebutkan tentang dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 merupakan dasar operasioanl pendidikan nasional.
Bertitik tolak dari keterangan pada sub ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa dasar yuridis yang melatarbelakangi pelaksanaan pendidikan ekstrakurikuler, adalah falsafah dasar negara Republik Indonesia, yaitu  Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.



[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, Landasan, Program, dan Pengembangan, (Jakarta : Dikdasmen, 1998), h. 4 

[2]Depdikbud RI, Peningkatan keimanan dan Ketaqwaan melalui Kegiatan Ekstrakurikuler, (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2001), h. 4

[3] Sudirman. N, dkk, Ilmu Pendidikan, Bandung : Rosda karya, 1987), h. 4

[4]Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan, (Padang : Angkasa Raya, t.th), h. 9


[5]”Lihat” Kartini Kartono, Ilmu Pendidikan, (Bandung : Mandar Maju, 1987), 216

[6]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 1

[7]Omar Mohammad al Toumi al Syaibani, Falsafatut Tarbiyyah al Islamiyyah, diterjemahkan oleh : Hasan Langgulung, dengan judul : “Falsafah Pendidikan Islam” (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 101.

[8]Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Proyek Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, 1985), h. 77

[9]Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, t.th), h. 135

[10]M.Natsir, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang,  1973), h. 82

[11]Lihat H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 12 - 13

[12]Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Tp, t.th), h. 9


[13]Departemen Agama, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Umum, (Jakarta: Binbaga Islam, 1986), h. 5

[14] ”Lihat”, Depdikbud RI, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Proyek PSPB, 1975), h. 7

[15]JAF Mayor Polak, Sosiologi, (Jakarta : Ikhtiar, 1964), h. 38

[16] Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengaaan Kitab Suci al-Quran, 1993), h. 125

[17]Ibid, h. 123

[18]Muslim bin al Hujjaj Abu al Husain al Qusyairy al Naisabury, Shihih Muslim, Juz V1 (Beirut : Dar Ihya al Turats al Araby, t.th), h.  8
[19]Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional,(T.Tp : Tp, t.th), h. 12

[20] Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, t.th),  h. 111

[21] Tem Penyusun, Pendidikan Pancasila, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 81

[22] BP7 pusat, Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: BP7 Pusat, t.th), h. 1

[23]Ibid, h. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Ekstrakurikuler

Pendidikan Ekstrakurikuler a. Pengertian pendidikan ekstrakurikuler Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan d...