a. Pengertian Kualitas Pendidikan
Untuk menguraikan masalah tersebut, terlebih dahulu penulis membahas
pengertian pendidikan, oleh beberapa pakar,
sebagai berikut:
Omar Mohammad al Toumi al
Syaibany, mengatakan bahwa pendidikan adalah “. . . usaha yang dicurahkan untuk
menolong insan menyingkap dan menemui rahasia alam, memupuk bakat dan
persediaan semula jadinya, mengarahkan kecenderungannya, . . .”
Konsep di atas asumsi dasarnya
adalah hakikat pendidikan ditentukan oleh hakikat manusianya atau antropologi
metafisikanya, dalam hal ini manusia dipandang sebagai homosapiens yaitu
sejenis makhluk yang dapat berpikir dan mampu berilmu pengetahuan. Jadi pada hakikatnya setiap manusia memperoleh hak
untuk berpikir guna mencari kebenaran mutlak atau kebenaran yang hakiki
sebagaimana kemampuan berpikir dan menganalisa sesuatu.
Ki Hajar Dewantara, mengemukakan bahwa pendidikan
adalah “Menuntun tumbuhnya budi pekerti
dalam hidup anak didik kita supaya menjadi manusia beradab dan susila”
Konsep tersebut meninjau proses pendidikan dari
sudut internal dalam diri manusia/anak, sehingga lebih mengarah kepeninjauan
tentang hakikat psikologis.
Oleh pakar sosiologis memberi definisi mengenai
pendidikan dengan argumentasinya bahwa “education in the proces by which the
individual is thought loyalty in conpromity to the group and to social
institutions”
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang mana
individual dibina agar menjadi loyal serta setia dan menyesuaikan diri pada
kelompok atau lembaga sosial. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan
adalah usaha manusia untuk mengarahkan manusia sehingga mencapai cita-cita yang
diinginkan, yaitu terwujudnya kepribadian yang utuh, baik jasmani maupun
rohani. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan adalah “suatu usaha
memanusiawikan seseorang, yaitu suatu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju
kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang
sesungguhnya”
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah
proses yang tanpa akhir (Education is the process without end). Dan
pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik
yang menyangkut daya pikir (daya intelektual) maupun daya emosional (perasaan)
yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Karena John Dewey
berfaham behaviorisme, dimana pengaruh pendidikan “dipandang dapat membentuk
manusia menjadi apa saja yang diinginkan oleh pendidik”. Maka istilah pembentukan
ciri khas yang menunjukkan kekuasaan pendidik terhadap anak didik.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di
masa yang akan datang”
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan
pada hakikatnya adalah proses pembimbingan, pembelajaran, dan atau pelatihan
terhadap anak sehingga dapat melaksanakan peranan serta tugas-tugas hidupnya
dengan sebaik-baiknya. Jadi secara sederhana dapat dipahami bahwa pendidikan
adalah proses pembimbingan, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap anak
sehingga menjadi orang yang mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup
sebagaimana mestinya.
Dalam kaitan
dengan pendidikan agama Islam, maka pendidikan adalah proses mengarahkan manusia kepada kehidupannya yang baik dan
mengangkat derajat kemanusiannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan
kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar). Pendapat ini didasarkan atas
firman Allah dalam surat an Nahl, 78 sebagai berikut:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Terjemahnya :
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.
Imam Syafie dalam
menafsirkan ayat tersebut, mengemukakan bahwa Allah Swt., memberi tahu semua
makhluk-Nya melalui kitab-Nya, bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan kecuali
yang Dia ajarkan saja.
Dalam QS. An-Nahl/16:78,
Tuhan menegaskan bahwa pada awal penciptaan, manusia tidak memiliki pengetahuan
(wallâhu akhrajakum min buthûni ummahâtikum lâ ta‘lamûna syai’an). Kondisi awal penciptaan ini
menempatkan manusia pada posisi yang,sebenarnya, sama dengan binatang, tanpa
pengetahuan, dan hanya bekerja dengan insting. Hal yang membedakan adalah
adanya tiga potensi itu, as-sam‘u, al-abshâr, dan
al-af’idah. Dalam
kontes ini, Tuhan tidak mengatakan bahwa manusia dibekali dengan al-udzun (telinga/indera pendengaran), al-‘ain (mata/indera penglihatan), dan al-‘aql (otak). Kalau itu yang disebut
oleh Tuhan, binatang juga punya semua itu. Seperti lagunya Iwan Fals: kalau
cuma senyum, westerling pun tersenyum. Nah, di sinilah manusia menjadi berbeda dengan binatang. Potensi yang ada
pada manusia tidak hanya bersifat inderawi. Melalui kemampuan abshar,
as-sam’, dan af’idah manusia mampu menembus batas-batas inderawi.
Dengan demikian, pendidikan
memberikan kesempatakan kepada keterbukaan terhadap pengaruh dari luar dan
perkembangan dari dalam diri anak didik, kemudian barulah fitrah itu diberi hak
untuk membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan faktor dari luar akan
mendidik dan mengarahkan kemampuan dasar (fitrah) anak.
Selanjutnya konsep peningkatan kualitas pendidikan
merupakan salah satu unsur dari paradigma baru pengelolaan pendidikan di
Indonesia. Paradigma tersebut mengandung atribut pokok yaitu relevan dengan
kebutuhan masyarakat pengguna lulusan, suasana akademik (academic atmosphere)
yang kondusif dalam penyelenggaraan program studi, adanya komitmen kelembagaan
(institusional komitmen) dari para pimpinan dan staf terhadap
pengelolaan organisasi yang efektif dan produktif, keberlanjutan (sustainability)
program studi, serta efisiensi program secara selektif berdasarkan kelayakan
dan kecukupan. Dimensi-dimensi tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi yang
sangat strategis untuk merancang dan mengembangkan usaha penyelenggaraan
pendidikan yang berorientasi kualitas pada masa yang akan datang.
Menurut Umaedi, kualitas mengandung makna derajat
(tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun
jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks
pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan
hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat
berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik),
metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana, dukungan administrasi
dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang
kondusif.
Dari berbagai pengertian yang ada,
pengertian kualitas pendidikan sebagai kemampuan lembaga pendidikan untuk
menghasilkan sumberdaya manusia sangatlah tepat. Dalam pengertian itu
terkandung pertanyaan seberapa jauh semua komponen masukan instrumental ditata
sedemikian rupa, sehingga secara sinergis mampu menghasilkan proses, hasil, dan
dampak belajar yang optimal. Yang tergolong masukan instrumental yang berkaitan
langsung dengan pembentukan sumber daya manusia adalah pendidik, kurikulum,
iklim pembelajaran, media belajar, fasilitas belajar, dan bahan ajar. Sedangkan
masukan potensial adalah mahasiswa dengan segala karakteristiknya seperti;
kesiapan belajar, motivasi, latar belakang sosial budaya, bekal ajar awal, gaya
belajar, serta kebutuhan dan harapannya.
Dari sisi guru, kualitas dapat
dilihat dari seberapa optimal guru mampu memfasilitasi proses belajar siswa.
Menurut Djemari Mardapi bahwa setiap tenaga pengajar memiliki tanggung jawab
terhadap tingkat keberhasilan siswa belajar dan keberhasilan guru mengajar.
Sementara itu dari sudut kurikulum dan bahan belajar kualitas dapat dilihat
dari seberapa luwes dan relevan kurikulum dan bahan belajar mampu menyediakan
aneka stimuli dan fasilitas belajar secara berdiversifikasi. Dari aspek iklim
pembelajaran, kualitas dapat dilihat dari seberapa besar suasana belajar
mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang,
menyenangkan dan bermakna bagi pembentukan profesionalitas kependidikan.
Dari sisi media belajar kualitas
dapat dilihat dari seberapa efektif media belajar digunakan oleh guru untuk
meningkatkan intensitas belajar siswa. Dari sudut fasilitas belajar kualitas
dapat dilihat dari seberapa kontributif fasilitas fisik terhadap terciptanya
situasi belajar yang aman dan nyaman. Sedangkan dari aspek materi, kualitas
dapat dilihat dari kesesuainnya dengan tujuan dan kompetensi yang harus dikuasi
siswa.
Oleh karena itu kualitas pembelajaran
secara operasional dapat diartikan sebagai intensitas keterkaitan sistemik dan
sinergis guru, mahasiswa, kurikulum dan bahan ajar, media, fasilitas, dan
system pembelajaran dalam menghasilkan proses dan hasil belajar yang optimal
sesuai dengan tuntutan kurikuler.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar