Kamis, 06 Juli 2017

Konsep Restorative Justice Menurut Penerapan Hukum di Indonesia


Anak berkonflik dengan hukum telah menjadi permasalahan di Indonesia, khususnya di kota besar, kesenjangan ekonomi maupun melemahnya ikatan sosial di kota besar dianggap menjadi salah satu penyebab timbulnya anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Dan tidak sedikit anak yang terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang menyakitkan, baik oleh pelaku tindak kejahatan yang professional, seperti preman, pemerkosa, perampok, dan sebagainya maupun oleh sanak saudara atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak di bawah umur umumnya masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Perhatian terhadap masalah ini masih kalah bila dibandingkan dengan maraknya kasus anak yang kurang gizi dan anak dan anak-anak busung lapar akibat situasi krisis ekonomi yang tak kunjung usai, tingginya angka kesakitan anak karena penyakit infeksi, atau kasus tingginya kematian anak yang secara factual lebih mudah dialami dan dideteksi masyarakat. (Sri Sanituti Hariadi, 2000 : 12)
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Deklarasi Hak Anak-anak hanya dijadikan ancaman yang menakutkan bagi anak dan cenderung masuk  penjara, belum menyentuh secara keseluruhan proses pemulihan untuk terapi anak. Terhadap anak berhadapan dengan hukum ini Pasal 59 juncto Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah menegaskan dimana Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya wajib dan bertanggungjawab memberikan perlindungan khusus melalui upaya :
1.     Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2.     Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
3.     Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4.     Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5.     Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
6.     Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
7.     Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghina dari labelisasi.
Sebelumnya pula ditegaskan dalam Pasal 16, 17 dan 18 khusus Anak sebagai pelaku dalam anak berhadapan dengan hukum disebutkan:
Pasal 16;
(1)   Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2)   Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3)   Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17;
(1)   Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a.     Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b.     Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c.      Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2)   Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18;
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Materi muatan ketentuan-ketentuan di atas, pada akhirnya membutuhkan langkah-langkah kongkrit Pemerintah utamanya para penegak hukum mengingat persoalan perlindungan anak dengan cluster perlindungan khusus atau Children in need of Special Protection (CNSP) membutuhkan langkah-langkah di luar kebiasaan atau kebijakan pemerintah di luar system peradilan pidana (Criminal Justice System). Kebijakan ini disebut dengan kebijakan Restorative Justice atau Keadilan Restoratif.
Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan Restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Restorative Justice dianggap cara berpikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Terhadap Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal tentunya sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.  
 Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan. Restorative Justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012  merupakan salah satu wujud bentuk dari Restorative Justice  (keadilan restoratif) sebagai, perwujudan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengedapankan diversi untuk tidak melakukan penahanan. Model ini perlu dikembangkan dalam penyelesaian kasus pidana, hal ini sangat bermanfaat membantu mengurangi jumlah narapidana dan tahanan. Juga lebih untuk mendorong terciptanya reintegrasi sosial pelaku tindak pidana ke masyarakat secara cepat serta menghindari stigmatisasi.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan Restorative Justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut:
“Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.”

Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan Restorative Justice sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat.
Dalam hal ini Restorative Justice sebagai sebuah konsep keadilan bagi anak masih belum tercermin dalam konsep hukum dalam sistem hukum pidana Indonesia, dimana Undang-Undang sendiri masih didominasi oleh pendekatan yang bersifat retributif.
Pembenahan persoalan anak-anak memang tidak dapat dilakukan sendiri, berbagai upaya harus dilakukan secara proporsional sesuai persoalan dan melihat akar persoalan yang ada. Selain hal di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan penanganan anak-anak secara proporsional (Hesma Eryani, 2006 : 8) :
1.    Kita harus menyadari bahwa anak-anak bukanlah barang dagangan jika band terkenal Serius melantunkan statement “Rocker juga manusia,” maka pada anak-anak kita juga harus menegaskan bahwa “Anak-anak juga manusia,” untuk memenuhi itu, pemerintah dan para orang dewasa harus memiliki komitmen nyata dan efektif terhadap prinsip-prinsip anak. Implementasi dari komitmen ini sangat mungkin dalam memberikan rasa aman, terlindung, dan lingkungan yang sehat bagi anak. Semua orang harus memiliki kesadaran dan memberi pengakuan akan hak setiap anak untuk berpartisipasi penuh dan menjadi bermakna. Biarkan mereka berbicara (meskipun bagi orang dewasa pembicaraan itu tak berkenan), libatkan mereka secara aktif dalam setiap pengambilan keputuasan, kala membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, bahkan evaluasi. Anak-anak akan merasa diuwongken karena mereka dilihat dari harkat dan martabatnya sebagai manusia;
2.    Terkait eksploitasi dan kekerasan terhadap anak harus ada hukum yang tegas untuk melindungi mereka. Tak hanya itu, korban kekerasan ini harus direhabilitasi sedemikian rupa dengan program-program yang dapat membangun kembali kehidupan mereka sehingga terlepas dari trauma berkepanjangan;
3.    Agar anak-anak tidak menjadi korban peperangan, baik perang berskala dunia maupun lokal/perang antar suku atau hal-hal lain seperti di Poso para pemimpin harus berupaya keras mencegah terjadinya konflik melalui dialog damai, bukan kekuatan. Jika peran telanjur terjadi, anak-anak ini harus dilindungi, misalnya di pengungsian dan diberi kesempatan sama dengan anak-anak yang lain.
Persoalan kemiskinan juga membawa anak dalam lingkaran setan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Hal ini menunjukan bahwa Negara secara serius memperhatikan terhadap perlindungan Hak-hak anak.
Perlunya didorong adanya sebuah model penanganan anak konflik dalam hukum, karena menurunya kesadaran kolektif masyarakat. Mereka cenderung tidak peduli lagi terhadap individu lain disekitarnya. Saat ini masyarakat lebih banyak mempercayakan penyelesaian kenakalan anak kepada sistem hukum konvensional yang mengatur tata nilai di masyarakat. Padahal, hal ini belum menjadi solusi terbaik dalam mengatasi Masalah-masalah sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Ekstrakurikuler

Pendidikan Ekstrakurikuler a. Pengertian pendidikan ekstrakurikuler Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan d...