Kamis, 06 Juli 2017

Perlindungan Hukum terhadap Anak di Bawah Umur Pelaku Kejahatan

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, di dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Dengan adanya interaksi tersebut, maka akan terjadi komunikasi, tolong menolong, tetapi akan timbul juga suatu pertentangan dan perselisihan antara sesamanya di dalam kehidupan sehari-harinya itu, sehingga untuk menjaga jangan sampai timbul suatu pertentangan dan perselisihan maka di dalam masyarakat perlu adanya hukum.
Berhasilnya pelaksanaan penyelenggaraan Negara untuk mencapai cita-cita bangsa, tergantung pada peran aktif masyarakat serta pada sikap mental, tekad, semangat, serta ketaatan dan disiplin para penyelenggara Negara. Sehubungan dengan itu, semua kekuasaan sosial politik, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya perlu menyusun program menurut fungsi dan kemampuan Masing-masing.
Setiap tahun, di Kota Parepare terdapat anak yang berkonflik dengan hukum dan terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Berdasarkan data yang diperoleh dari Kasmawati SH, pangkat Aipda, Jabatan PSP, Kaur Mintu Satreskrim pada Kantor Polresta Kota Parepare, bahwa tahun 2015-2016, sedikitnya 55 orang Anak Konflik Hukum (AKH), sebahagian besar anak tersebut berkonflik dengan hukum hanya karena Pelanggaran-pelanggaran kecil seperti melanggar ketertiban umum, membawa senjata tajam, pencurian yang nilainya tidak besar seperti mencuri beberapa batang coklat, sebotol shampo, sekotak susu atau beberapa kotak rokok di Supermarket.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis, mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Sebagai generasi penerus bangsa pada kenyataan pada saat ini tidak sedikit anak-anak bangsa terjerumus ke hal-hal yang tidak mendorong mereka tumbuh sebagai anak bangsa yang berkualitas, salasatu yang menjadi pengganjal perkembangan anak yaitu penyalagunaan narkotika di kalangan anak.
Keberadaan anak perlu mendapatkan perhatian, dalam perkembangannya ke arah dewasa, terkadang melakukan perbuatan yang lepas kontrol, mereka melakukan perbuatan yang tidak baik sehingga dapat merugikan orang lain atau merugikan dirinya sendiri.
Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Sudah banyak contoh karena lepas kendali, kenakalan anak  sudah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan kejahatan harus berhadapan dengan aparat penegak hukum untuk mempertanggumg jawabkan perbuatannya.
Anak sepertinya berada pada wilayah hitam atau putih, mudah terpengaruh dan berada dalam masa tumbuh kembang, dalam situasi ini seorang anak membutuhkan perlindungan yang lebih dibandingkan orang dewasa. Anak terlibat dalam perkara pidana atau biasa disebut dengan Anak Konflik Hukum (AKH) atas dasar situasi yang dihadapinya adalah kelompok anak yang membutuhkan perlindungan lebih khusus dibanding kelompok anak lainnya. Hal ini didasarkan pada kerawanan situasi yang kerap dihadapi anak ketika menjalani proses hukum.
Menurut Elizabeth B Hurlock (2006 : 1)

“Masa Kanak-kanak dimulai setelah masa bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia 2 tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14  tahun untuk pria, selain itu pula ia menggolongkan masa anak-anak ini kedalam dua tahapan  yaitu :
1. Awal masa Kanak-kanak;
2. Akhir masa Kanak-kanak.
Awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi, usia ketergantungan secara praktis sudah dilewati, diganti dengan tumbuhnya kemandirian, dan berakhir disekitar usia masuk Sekolah Dasar (SD).”

Menurut Melani (2004 : 1)

“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, demikian akidah Islam telah meletakkan anak sebagai makhluk mulia. Anak berada dalam proses tumbuh kembang menuju dewasa, sehingga anak melakukan tindakan negatif seharusnya dipandang sebagai korban dari situasi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, oleh karena itu anak melakukan tindak pidana seyogianya tidak dipandang sebagai kriminal cilik yang diperlakukan seperti halnya kriminal dewasa.” 
                     
Selanjutnya Melani (2004 : 2), berpendapat:
“Perlindungan terhadap anak, termasuk anak yang melakukan tindak pidana merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).  Di samping anak memiliki Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi, anak sebagai umat manusia juga harus dibina agar tindakan-tindakannya tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat dan hukum yang berlaku. Demikian pula bagi anak telah terlanjur melakukan tindak pidana harus ada penanganan dan sanksi khusus yang dapat membuat anak menyadari akan kesalahannya, membuat anak bertanggung jawab dan tidak mengulangi perbuatannya, penanganan dan sanksi tersebut sebaiknya dijatuhkan tidak melalui Proses Formal (Sistem Peradilan Pidana), karena dapat menimbulkan stigma.” 

Badan Pusat Statistik (2013), sendiri memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 4000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan anak di seluruh Indonesia. Jika tahun 2003 sudah terdapat 136.000 Anak Konflik Hukum (AKH), tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 140.000 anak yang terlibat dalam masalah hukum. Penulis berkesimpulan, bahwa ternyata Anak Konflik Hukum sangat rentan dan rawan, terhadap perilaku negatif, dan perlu upaya pembinaan dari Pondok Pesantren sebagai alternatif pembinaan akhlak, sehingga peranan pondok pesantren sangat diperlukan dan anak melakukan perbuatan tercela cenderung berkurang.     
 Meningkatnya kasus pelanggaran hukum ini ternyata tidak diiringi pembenahan sistem peradilan. Proses peradilan yang dijalani anak saat ini dinilai tidak menempatkan anak sebagai anak. Putusan pengadilan-pun tidak menjamin efektif untuk mencegah anak mengulangi perbuatan serupa. Akhirnya diperlukan penanganan alternatif, seperti Restorative Justice (Keadilan yang memulihkan) sebagai pilihan bagi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.
Peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain:

1.     Undang-Undang Dasar 1945;
2.     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana;;
3.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
4.     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
5.     Undang-Undang Nomor 10  Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera;
6.     Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
7.     Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
8.     Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diubah dengan Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang pemerintah daerah;
9.     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia;
10.            Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
11.            Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidanan Anak (Undang-Undang ini telah ditetapkan tetapi berlakunya tahun 2014);
12.            Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak.
13.            Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Tahun 2009 Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
Meskipun Undang-Undang mengatur tentang anak telah banyak diatur, tetapi aplikasinya belum dirasakan oleh Anak Konflik Hukum (AKH), sehingga timbul pertanyaan, bagaimana hukum dibuat hanya dijadikan tumbal belaka, bukan penerapan semata untuk memperbaiki sistem akhlak anak untuk lebih baik, tetapi penerapan Undang-Undang Anak lebih identik Anak Konflik Hukum (AKH) 93% masuk melalui proses pengadilan, tidak dilakukan preventif dengan upaya pendekatan secara dialogis kemasyarakatan.
Penerapan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang dilakukan olah anak pada dasarnya bersifat dilematis. Di satu sisi, penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang dilakukan anak dengan menempatkan anak sebagai pelaku kejahatan akan menimbulkan dampak negatif yang sangat kompleks, tetapi disisi lain penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan anak justru dianggap sebagai pilihan yang rasional dan legal.
Pengadilan Anak (juvenile court) di Amerika Serikat, didasarkan pada asas parent patria, penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak dijatuhi hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan. Di Indonesia telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut :
“Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.”

Dari gambaran uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan mengambil judul : “Perlindungan Hukum terhadap Anak di Bawah Umur Pelaku Kejahatan”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur pelaku kejahatan?
2. Bagaimana implementasi penerapan asas hukum dalam pelaksanaan Restorative Justice terhadap  anak yang berkonflik dengan hukum?

C.  Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur pelaku kejahatan.
2. Untuk mengetahui implementasi penerapan asas hukum dalam pelaksanaan Restorative Justice terhadap  anak yang berkonflik dengan hukum.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh  diharapkan bermanfaat bagi :
1. Institusi
Sebagai bahan masukan untuk menambah koleksi karya ilmiah yang dapat dijadikan sumber bacaan dan literatur dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan judul penelitian ini.
2. Masyarakat

Sebagai informasi bagi masyarakat umum dalam memperkaya dan memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap masalah perlindungan hukum terhadap anak. Juga sebagai bahan masukan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dan terlibat dalam sistem peradilan pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Ekstrakurikuler

Pendidikan Ekstrakurikuler a. Pengertian pendidikan ekstrakurikuler Pendidikan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan d...