BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, di dalam kehidupan sehari-hari selalu
berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Dengan adanya interaksi tersebut,
maka akan terjadi komunikasi, tolong menolong, tetapi akan timbul juga suatu
pertentangan dan perselisihan antara sesamanya di dalam kehidupan
sehari-harinya itu, sehingga untuk menjaga jangan sampai timbul suatu
pertentangan dan perselisihan maka di dalam masyarakat perlu adanya hukum.
Berhasilnya pelaksanaan penyelenggaraan Negara untuk mencapai cita-cita
bangsa, tergantung pada peran aktif masyarakat serta pada sikap mental, tekad,
semangat, serta ketaatan dan disiplin para penyelenggara Negara. Sehubungan
dengan itu, semua kekuasaan sosial politik, organisasi kemasyarakatan, dan
lembaga kemasyarakatan lainnya perlu menyusun program menurut fungsi dan
kemampuan Masing-masing.
Setiap tahun, di Kota Parepare terdapat
anak yang berkonflik dengan hukum dan terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP ). Berdasarkan data yang diperoleh dari Kasmawati SH,
pangkat Aipda, Jabatan PSP, Kaur Mintu Satreskrim pada Kantor Polresta Kota Parepare, bahwa tahun 2015-2016, sedikitnya 55 orang
Anak Konflik Hukum (AKH), sebahagian besar anak tersebut berkonflik dengan hukum hanya karena
Pelanggaran-pelanggaran kecil seperti melanggar ketertiban umum, membawa senjata tajam, pencurian yang nilainya tidak besar seperti
mencuri beberapa batang coklat, sebotol shampo, sekotak susu atau beberapa
kotak rokok di Supermarket.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu
sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa, yang memiliki peranan strategis, mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan
seimbang.
Sebagai generasi penerus bangsa pada kenyataan pada saat
ini tidak sedikit anak-anak bangsa terjerumus ke hal-hal yang tidak mendorong
mereka tumbuh sebagai anak bangsa yang berkualitas, salasatu yang menjadi
pengganjal perkembangan anak yaitu penyalagunaan narkotika di kalangan anak.
Keberadaan anak perlu mendapatkan perhatian, dalam
perkembangannya ke arah dewasa, terkadang melakukan perbuatan yang lepas
kontrol, mereka melakukan perbuatan yang tidak baik sehingga dapat merugikan
orang lain atau merugikan dirinya sendiri.
Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa
pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari
lingkungan pergaulannya. Sudah banyak contoh karena lepas kendali, kenakalan
anak sudah menjadi tindak pidana atau
kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang
melakukan kejahatan harus berhadapan dengan aparat penegak hukum untuk
mempertanggumg jawabkan perbuatannya.
Anak sepertinya berada pada wilayah hitam atau putih, mudah terpengaruh
dan berada dalam masa tumbuh kembang, dalam situasi ini seorang anak
membutuhkan perlindungan yang lebih dibandingkan orang dewasa. Anak terlibat
dalam perkara pidana atau biasa disebut dengan Anak Konflik Hukum (AKH) atas
dasar situasi yang dihadapinya adalah kelompok anak yang membutuhkan
perlindungan lebih khusus dibanding kelompok anak lainnya. Hal ini didasarkan
pada kerawanan situasi yang kerap dihadapi anak ketika menjalani proses hukum.
Menurut Elizabeth B Hurlock (2006 : 1)
“Masa Kanak-kanak dimulai setelah masa bayi yang penuh
dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia 2 tahun sampai saat anak matang
secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria, selain itu pula ia
menggolongkan masa anak-anak ini kedalam dua tahapan yaitu :
1. Awal masa
Kanak-kanak;
2. Akhir masa
Kanak-kanak.
Awal masa
kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi, usia ketergantungan secara
praktis sudah dilewati, diganti dengan tumbuhnya kemandirian, dan berakhir
disekitar usia masuk Sekolah Dasar (SD).”
Menurut Melani (2004 : 1)
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, demikian akidah
Islam telah meletakkan anak sebagai makhluk mulia. Anak berada dalam proses
tumbuh kembang menuju dewasa, sehingga anak melakukan tindakan negatif
seharusnya dipandang sebagai korban dari situasi yang tidak menguntungkan bagi
dirinya, oleh karena itu anak melakukan tindak pidana seyogianya tidak
dipandang sebagai kriminal cilik yang diperlakukan seperti halnya kriminal
dewasa.”
Selanjutnya Melani (2004 : 2), berpendapat:
“Perlindungan terhadap anak, termasuk anak yang melakukan
tindak pidana merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Di samping anak memiliki Hak Asasi Manusia
yang harus dilindungi, anak sebagai umat manusia juga harus dibina agar
tindakan-tindakannya tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di
masyarakat dan hukum yang berlaku. Demikian pula bagi anak telah terlanjur
melakukan tindak pidana harus ada penanganan dan sanksi khusus yang dapat
membuat anak menyadari akan kesalahannya, membuat anak bertanggung jawab dan
tidak mengulangi perbuatannya, penanganan dan sanksi tersebut sebaiknya
dijatuhkan tidak melalui Proses Formal (Sistem Peradilan Pidana), karena dapat
menimbulkan stigma.”
Badan Pusat Statistik (2013), sendiri
memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 4000 kasus pelanggaran hukum yang
dilakukan anak di seluruh Indonesia. Jika tahun 2003 sudah terdapat 136.000
Anak Konflik Hukum (AKH), tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 140.000 anak
yang terlibat dalam masalah hukum. Penulis berkesimpulan, bahwa ternyata Anak
Konflik Hukum sangat rentan dan rawan, terhadap perilaku negatif, dan perlu
upaya pembinaan dari Pondok Pesantren sebagai alternatif pembinaan akhlak,
sehingga peranan pondok pesantren sangat diperlukan dan anak melakukan
perbuatan tercela cenderung berkurang.
Meningkatnya kasus
pelanggaran hukum ini ternyata tidak diiringi pembenahan sistem peradilan.
Proses peradilan yang dijalani anak saat ini dinilai tidak menempatkan anak
sebagai anak. Putusan pengadilan-pun tidak menjamin efektif untuk mencegah anak
mengulangi perbuatan serupa. Akhirnya diperlukan penanganan alternatif, seperti Restorative Justice (Keadilan yang
memulihkan) sebagai pilihan bagi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.
Peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan perlindungan
anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain:
1.
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana;;
3.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak;
4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana;
5.
Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera;
6.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
7.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
8.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diubah dengan
Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang pemerintah daerah;
9.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia;
10.
Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak;
11.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidanan Anak (Undang-Undang ini telah ditetapkan tetapi berlakunya tahun 2014);
12.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak.
13.
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum
dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Tahun
2009 Tentang Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
Meskipun Undang-Undang mengatur tentang anak telah banyak
diatur, tetapi aplikasinya belum dirasakan oleh Anak Konflik Hukum (AKH),
sehingga timbul pertanyaan, bagaimana hukum dibuat hanya dijadikan tumbal
belaka, bukan penerapan semata untuk memperbaiki sistem akhlak anak untuk lebih
baik, tetapi penerapan Undang-Undang Anak lebih identik Anak Konflik Hukum
(AKH) 93% masuk melalui proses pengadilan, tidak dilakukan preventif dengan upaya pendekatan secara dialogis kemasyarakatan.
Penerapan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan yang dilakukan olah anak pada dasarnya bersifat dilematis. Di satu
sisi, penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang dilakukan
anak dengan menempatkan anak sebagai pelaku kejahatan akan menimbulkan dampak
negatif yang sangat kompleks, tetapi disisi lain penggunaan hukum pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan anak justru dianggap sebagai pilihan
yang rasional dan legal.
Pengadilan Anak (juvenile
court) di Amerika Serikat, didasarkan pada asas parent patria, penguasa harus bertindak apabila anak-anak
membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak dijatuhi
hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan. Di Indonesia telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut :
“Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan
sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari
nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.”
Dari gambaran uraian tersebut di
atas maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan mengambil
judul : “Perlindungan Hukum terhadap Anak di
Bawah Umur Pelaku Kejahatan”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak di
bawah umur pelaku kejahatan?
2. Bagaimana implementasi
penerapan asas hukum dalam pelaksanaan Restorative Justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian ini, adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak di
bawah umur pelaku kejahatan.
2. Untuk
mengetahui implementasi penerapan asas hukum dalam pelaksanaan Restorative
Justice terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan bermanfaat bagi :
1. Institusi
Sebagai bahan masukan
untuk menambah koleksi karya ilmiah yang dapat dijadikan sumber bacaan dan
literatur dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah lainnya yang ada
relevansinya dengan judul penelitian ini.
2. Masyarakat
Sebagai informasi bagi
masyarakat umum dalam memperkaya dan memperdalam pengetahuan dan pemahaman
terhadap masalah perlindungan hukum terhadap anak. Juga sebagai bahan masukan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum dan terlibat dalam sistem peradilan pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar